Desain Hukum dan Tata Negara Kerajaan
Aceh (Bagian I)
Oleh : Haekal Afifa
Aktivis
Kebudayaan dan Sejarah di Aceh Ethnic Institute
Aceh merupakan sebuah
Kerajaan yang heterogen, yang dibangun dan ditempati bukan oleh satu suku,
sehingga tidak ada alasan mengklaim bahwa Aceh hanya milik salah satu golongan.
Maka pada masa Sultan Alaidin Ri’ayat Sjah Al Qahhar (1537-1568), telah mempersatukan semua suku-suku
di Aceh dalam Empat Golongan (Suku)
besar; Sukee Imum Peut, Sukee Tok Batee,
Sukee Jasandang dan Sukee Lhee Reutoh.
Empat suku tersebut dihimpun berdasarkan
asal-muasal dan
kebiasaannya.
kebiasaannya.
Dari tiap-tiap suku
tersebut dipimpin oleh seorang kepala yang disebut Panglima Kaum. Semuanya
mempunyai totalitas dan loyalitas
(Kesetiaan) terhadap suku masing-masing.
Hukum yang berlaku saat itu adalah “Adat
Plakpleueng” (tidak seragam), sehingga
keempat suku yang mempunyai totalitas dan loyalitas itu saling merebut
pengaruh (domination), akibatnya konflik
sosial tidak bisa dihindarkan sehingga
mempengaruhi roda pemerintahan Kerajaan
Aceh Darussalam. Sebenarnya, hal ini
telah berlangsung lama sehingga timbul
menjadi konflik nasional Kerajaan
(selain konflik
International) yang akhirnya berpengaruh terhadap posisi Sultan sebagai Raja.
International) yang akhirnya berpengaruh terhadap posisi Sultan sebagai Raja.
Maka, tidak heran jika masa
sebelumnya banyak Sultan Aceh yang harus
turun dari kursi kepemimpinan, karena
rapuhnya manajemen hukum dan
pemerintahan dalam menampung aspirasi
suku-suku yang berbeda. Ini berarti
desain hokum dalam pelaksanaan tata
negara ketika itu di Aceh kurang
efektif.
Maka pada masa Sulthan
Iskandar Muda (1607-1636) yang didukung
oleh Mufti Kerajaan Aceh saat itu; Syekh
Syamsuddin As-Sumatrani (Murid Hamzah
Fansuri) membentuk satu aturan (Konsepsi) hokum
yang ideal, aspiratif, solutif dan
berkarakter dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Aturan hukum itu dilandasi oleh empat bagian;
dan bernegara. Aturan hukum itu dilandasi oleh empat bagian;
(1) Hukum Adat;
Kebijakan dan wewenangnya diputuskan
oleh Sri Sultan.
(2) Hukum (Islam); Diatur dan diputuskan oleh Qadhi Malikul Adil (Ulama).
(3) Qanun; Pelaksanaan dan
Kebijakannya dipegang oleh Maharani
(Putroe).
(4) Reusam; Dipimpin oleh
Panglima Kaum atau Bentara dalam Negeri
masing-masing.
Maka Hadih Madja (Pepatah
Aceh/Majaz Aceh); “Adat Bak Poe Teu
Mereuhom (Sultan), Hukom Bak Syiah Kuala
(Ulama), Qanun Bak Putroe Phang
(Maharani), Reusam bak Bentara (Panglima
Kaum)” ini merupakan manifesto rakyat
Aceh dalam mendeskripsikan begitu kuat
dan berhasilnya bentuk tatanan hukum
yang dibangun oleh Sri Sultan Iskandar
Muda. Empat landasan tersebut merupakan pondasi (Undang-Undang Dasar) dalam membentuk tata negara Kerajaan Aceh
Darussalam yang akhirnya melahirkan sumber hukum Kerajaan yakni; Al Quran, Hadist, Ijma’ dan Qiyas.
Darussalam yang akhirnya melahirkan sumber hukum Kerajaan yakni; Al Quran, Hadist, Ijma’ dan Qiyas.
Untuk mensosialisasikan UUD
tersebut, Sultan memanggil semua Pejabat, tokoh
dan para pembesar di
masing-masing negeri guna sama-sama merumuskan
undang-undang turunan yang sesuai
menurut kebutuhan negeri-negeri yang
terdapat dalam wilayah Hukum Kerajaan
Aceh Darussalam. Undang-undang tersebut
merupakan konsensus yang harus ditaati
dan dijalankan bersama. Inilah sebuah
proses yang bersifat “One for All – All for One” yang disebut dengan – meminjam istilah Al Maududi- Theo-Demokrasi (Demokrasi Tuhan). Yakni sebuah konsep
hukum yang berdiri untuk dan atas semua golongan.
hukum yang berdiri untuk dan atas semua golongan.
Desain hukum tersebut telah mengantarkan Kerajaan Islam Aceh Darussalam sebagai salah satu dari lima Kerajaan
Besar Islam di dunia saat itu (Aceh, Turki, Maroko, Isfahan, Mughal). “Adat Bak Poe Teumereuhom” Islam (hukum) merupakan Konsepsi dasar tata negara dan hukum Kerajaan Islam Aceh Darussalam yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda dalam menegakkan falsafah dan ideologi negara. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku dalam kehidupan asyarakat Aceh. Karena pada dasarnya, negara dan pemerintahan tidak bisa membentuk masyarakat, tetapi masyarakatlah yang membentuk Negara dan pemerintahan. Inilah yang dijalankan oleh Sultan Iskandar Muda, sehingga dalam mencapai tujuan masyarakat Aceh yang
heterogen.
heterogen.