Jumat, 11 September 2015

Jumat, September 11, 2015
Desain Hukum dan Tata Negara Kerajaan

Aceh (Bagian I)

Oleh : Haekal Afifa 
Aktivis Kebudayaan dan Sejarah di Aceh Ethnic Institute


Aceh merupakan sebuah Kerajaan yang heterogen, yang dibangun dan ditempati bukan oleh satu suku, sehingga tidak ada alasan mengklaim bahwa Aceh hanya milik salah satu golongan. Maka pada masa Sultan Alaidin Ri’ayat Sjah Al Qahhar  (1537-1568), telah mempersatukan semua suku-suku di Aceh dalam Empat Golongan  (Suku) besar; Sukee Imum Peut, Sukee Tok  Batee, Sukee Jasandang dan Sukee Lhee  Reutoh. Empat suku tersebut dihimpun  berdasarkan asal-muasal dan
kebiasaannya.

Dari tiap-tiap suku tersebut dipimpin oleh seorang kepala yang disebut Panglima Kaum. Semuanya mempunyai totalitas dan  loyalitas (Kesetiaan) terhadap suku  masing-masing. Hukum yang berlaku saat itu adalah “Adat  Plakpleueng” (tidak seragam), sehingga  keempat suku yang mempunyai totalitas dan loyalitas itu saling merebut pengaruh  (domination), akibatnya konflik sosial tidak  bisa dihindarkan sehingga mempengaruhi  roda pemerintahan Kerajaan Aceh  Darussalam. Sebenarnya, hal ini telah  berlangsung lama sehingga timbul menjadi  konflik nasional Kerajaan (selain konflik
International) yang akhirnya berpengaruh  terhadap posisi Sultan sebagai Raja.
Maka, tidak heran jika masa sebelumnya  banyak Sultan Aceh yang harus turun dari  kursi kepemimpinan, karena rapuhnya  manajemen hukum dan pemerintahan  dalam menampung aspirasi suku-suku  yang berbeda. Ini berarti desain hokum  dalam pelaksanaan tata negara ketika itu di  Aceh kurang efektif.
Maka pada masa Sulthan Iskandar Muda  (1607-1636) yang didukung oleh Mufti  Kerajaan Aceh saat itu; Syekh Syamsuddin  As-Sumatrani (Murid Hamzah Fansuri) membentuk satu aturan (Konsepsi) hokum  yang ideal, aspiratif, solutif dan  berkarakter dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Aturan hukum itu dilandasi  oleh empat bagian;
 (1) Hukum Adat;  Kebijakan dan wewenangnya diputuskan   oleh Sri Sultan. 
(2) Hukum (Islam); Diatur  dan diputuskan oleh Qadhi Malikul Adil  (Ulama). 
(3) Qanun; Pelaksanaan dan Kebijakannya  dipegang oleh Maharani (Putroe).
 (4)  Reusam; Dipimpin oleh Panglima Kaum  atau Bentara dalam Negeri masing-masing.

Maka Hadih Madja (Pepatah Aceh/Majaz  Aceh); “Adat Bak Poe Teu Mereuhom  (Sultan), Hukom Bak Syiah Kuala (Ulama),  Qanun Bak Putroe Phang (Maharani),  Reusam bak Bentara (Panglima Kaum)”  ini merupakan manifesto rakyat Aceh  dalam mendeskripsikan begitu kuat dan  berhasilnya bentuk tatanan hukum yang  dibangun oleh Sri Sultan Iskandar Muda.  Empat landasan tersebut merupakan  pondasi (Undang-Undang Dasar) dalam  membentuk tata negara Kerajaan Aceh
Darussalam yang akhirnya melahirkan  sumber hukum Kerajaan yakni; Al Quran, Hadist, Ijma’ dan Qiyas. 

Untuk mensosialisasikan UUD tersebut, Sultan memanggil semua Pejabat, tokoh  dan para  pembesar di masing-masing negeri guna sama-sama merumuskan  undang-undang turunan yang sesuai  menurut kebutuhan negeri-negeri yang  terdapat dalam wilayah Hukum Kerajaan  Aceh Darussalam. Undang-undang tersebut  merupakan konsensus yang harus ditaati  dan dijalankan bersama. Inilah sebuah  proses yang bersifat “One for All – All for  One” yang disebut dengan – meminjam  istilah Al Maududi- Theo-Demokrasi  (Demokrasi Tuhan). Yakni sebuah konsep
hukum yang berdiri untuk dan atas semua  golongan.

Desain hukum tersebut telah  mengantarkan Kerajaan Islam Aceh  Darussalam sebagai salah satu dari lima Kerajaan Besar Islam di dunia saat itu (Aceh, Turki, Maroko, Isfahan, Mughal).  “Adat Bak Poe Teumereuhom”  Islam (hukum) merupakan Konsepsi dasar  tata negara dan hukum Kerajaan Islam  Aceh Darussalam yang dibangun oleh  Sultan Iskandar Muda dalam menegakkan  falsafah dan ideologi negara. Hal ini sesuai  dengan prinsip-prinsip yang berlaku dalam  kehidupan   asyarakat Aceh. Karena pada  dasarnya, negara dan pemerintahan tidak  bisa membentuk masyarakat, tetapi  masyarakatlah yang membentuk Negara  dan pemerintahan. Inilah yang dijalankan  oleh Sultan Iskandar Muda, sehingga dalam  mencapai tujuan masyarakat Aceh yang
heterogen.


Comments
0 Comments

0 komentar: